Pernahkah kawan merasa hidup seakan melambat, rutinitas terasa membosankan, dan kreatifitas diri menurun?
Adalah disebut syndrom pasca wisuda, sebuah gejala psikologis yang dialami oleh banyak sarjana fresh graduate yang merasa bahwa hidupnya melamban, rutinitas terasa lebih mudah membosankan dari sebelumnya, teman-teman udah mulai sibuk dan hilang sendiri-sendiri, semangat meluntur sedikit demi sedikit.. semua tak sama lagi seperti beberapa tahun kemarin, ketika kita masih di semester-semester awal, di saat kita begitu gigihnya dan aktifnya di UKM ini itu, kegiatan off campus yang luar biasa, berkumpul dengan kawan-kawan yang hebat, menjadi yang terhebat di kelas, dan sebagainya.
Lalu tiba-tiba, kita dihadapkan pada kondisi dimana ritme hidup kita nggak lagi stacatto, tapi melo.
Sebagian harus pulang ke kampung halaman, sebagian meneruskan kuliah, sebagian harus mencari kerja, sebagian menikah dan switch ke kehidupan rumah tangga, sebagian menanti peluang-peluang beasiswa, sebagian meneruskan usaha yang sudah dimilikinya sejak kuliah.
Bagi yang meneruskan kuliah atau meneruskan usaha yang sudah dimiliki, syndrom semacam ini mungkin tidak terlalu menyiksa dan terasa. Namun bagi kawan-kawan yang tidak memiliki banyak pilihan setelah lulus, disadari atau tidak, perlambatan ritme itu akan sangat terasa.
Saya menyebutnya sebagai “futur”.
Futur, artinya adalah diam setelah giat dan lemah setelah semangat. Dalam bahasa populer, futur disebut pula dengan Spirit Degradation.
1-6 bulan mungkin belum terasa, tapi setelah 6 bulan, pasti tersiksa.
6 bulan pertama adalah fase “lega” setelah lulus, plus fase mencari the next step. Mencari kerja.
Ketika pekerjaan idaman belum juga didapat, bulan-bulan berikutnya terasa begitu lama, membosankan, dan benar-benar tidak asyik.
Apalagi ketika melihat kawan-kawan lain sudah mendapat pekerjaan yang keren, atau melanjutkan S2, dapat beasiswa ke luar negeri. Kawan-kawan, yang, sekelas dengan kita, yang harusnya kita tumbuh bersama dengan mereka, lalu mereka mendapatkan cita-citanya lebih cepat dari kita.
Lalu, tanpa disadari, futurpun melanda. Prestasi menurun, tak lagi seperti dulu. Dulu kita yang menonjol di kelas, lalu menjadi satu di antara sekian juta job seeker, atau 1 di antara pengangguran terdidik.
Saat ini saya belum mendapat solusi yang benar-benar ampuh, namun menukil dari pengalaman beliau beliau yang sudah makan asam garam hidup, alkisah, untuk menghadapi futur ini ada beberapa kiat:
Pertama, berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjaga rutinitas seperti semula.
Misal nih, dulu setiap pagi pergi ke masjid dekat kosan untuk sholat shubuh jamaah,usahakan tetap demikian. Lalu pagi hari yang biasa digunakan untuk kuliah, manfaatkan untuk “kuliah” ilmu yang lain, bisa juga untuk tetap mempelajari bidang yang dulu kita dalami. Caranya, baca jurnal ilmiah online, artikel, karya tulis, dsb.
Sore hari yang biasa organisasi, gunakan untuk bergabung dengan organisasi-organisasi lokal di sekitar rumah kita. Jika ada remas (remaja masjid) ya ikut, karang taruna ikut, atau ada gerakan-gerakan kecil pemberantasan buta aksara di desa, ikut aja. Malam hari yang biasanya digunakan untuk diskusi dengan kawan se UKM, bisa digunakan untuk chat dengan mereka. Kalau tidak, bisa digunakan untuk menularkan ilmu ke tetangga sekitar kita, bisa tentang baca tulis, ilmu komputer, ilmu agama,dan sebagainya.
Kedua, hindari berkumpul (berorganisasi) dengan orang-orang yang lemah (lemah cita-citanya).
Disadari atau tidak, semangat kita ketika kita menjadi mahasiswa, dipengaruhi oleh senior kita atau kawan kita yang semangat pula. Maka, hindari orang-orang yang berpandangan bahwa cita-cita itu tak perlu buru-buru dikejar. Sebagai penggantinya, cari kawan baru yang mempunyai azzam (tekad) yang kuat untuk diri dan sekitarnya.
Misal, menjalin kerjasama dengan beberapa pemuda setempat untuk mendirikan sanggar bagi anak-anak yatim atau terlantar. Membuat gerakan “Cinta Membaca” di kampung, atau kerjasama dengan desa untuk mendirikan “Internet Centre” bagi penduduk desa, sebagai sarana komunikasi dan informasi tentang pertanian dan peluang wirausaha home industry.
Ketiga, buat kebiasaan-kebiasaan baru yang bermanfaat.
Misal,dulu waktu kuliah nggak sempat olahraga, sekarang diupayakan untuk olahraga tiap pagi. Dulu nggak sempat silaturahmi sama saudara-saudara dekat maupun jauh, sekarang mulai dibiasakan. Dulu nggak ikut majelis dzikir kampung, sekarang ikut. Dulu nggak sempat “outbond” bareng keluarga, sekarang bisa.
Sebuah kebiasaan baru yang bisa dilakukan adalah menularkan kepada keluarga kita tentang apa-apa saja yang kita peroleh selama menjadi Beswan. Ketika kita ikut Achievement Motivation Training, ESQ, Outbond di Cikole, Seminar Kewirausahaan, dsb, pasti banyak hal-hal yang bisa kembangkan dan tularkan dari kegiatan-kegiatan itu.
Keempat, fokus pada cita-cita semula dan konsisten dalam mencapainya.
Ingat-ingat, keinginan apa saja yang dulu kita inginkan. Buka-buka lagi buku mimpinya. Buka-buka lagi diarinya. Mungkin ada banyak mimpi yang belum terwujud.
Terus apply beasiswa luar negeri walaupun beberapa kali ditolak. Kerjaan ideal harga mati? Well, keep searching.
Kelima, ingatlah, waktu tidak diam, dia terus bergerak.
Dan orang yang tidak bergerak, secara kenyataan dia adalah berjalan mundur. Maka keep moving!
http://blog.beswandjarum.com/arnissilvia/?tag=tips-menghadapai-futur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar